Selama bertahun-tahun, manusia mengejar pertumbuhan ekonomi tanpa memikirkan dampaknya pada lingkungan. Namun kini, krisis iklim, pencemaran, dan bencana ekologis mulai menyadarkan banyak pihak bahwa ada yang keliru dalam cara kita membangun ekonomi. Kita lupa, bumi bukan sekadar tempat tinggal, ia adalah titipan. Maka, adakah cara membangun ekonomi yang tetap produktif, tapi bertakwa pada alam?
Ekonomi yang bertakwa pada alam adalah pendekatan ekonomi yang mengutamakan keberlanjutan, etika, dan tanggung jawab ekologis. Konsep ini bukan sekadar soal “go green”, tapi melihat bahwa relasi manusia dengan alam adalah bagian dari ketauhidan, kesadaran bahwa alam diciptakan oleh Tuhan dan harus dijaga. Ini sejalan dengan pemikiran para tokoh seperti Gus Dur yang kerap menekankan pentingnya harmoni antara manusia, Tuhan, dan alam.
Di berbagai pelosok Indonesia, pendekatan ini sudah dijalankan tanpa label apa pun. Misalnya, masyarakat adat di Kampung Kasepuhan Ciptagelar, Jawa Barat, telah lama menjalankan pertanian tanpa bahan kimia dan dengan perhitungan siklus alam. Hasilnya memang tidak melimpah secara instan, tapi berkelanjutan dan tidak merusak lingkungan. Inilah contoh nyata ekonomi yang mengakar pada kearifan lokal dan ketundukan pada hukum alam.
Bagi pelaku usaha kecil dan koperasi, prinsip bertakwa pada alam bisa diwujudkan lewat praktik sederhana: mengurangi limbah produksi, menggunakan bahan ramah lingkungan, hingga menciptakan produk berbasis lokal tanpa eksploitasi berlebihan. Menurut laporan UNDP Indonesia (2025), UMKM yang menerapkan prinsip keberlanjutan memiliki peluang lebih besar untuk bertahan dalam jangka panjang dan menarik pasar yang sadar lingkungan.
Kita tidak perlu mencari jauh-jauh untuk membangun ekonomi yang selaras dengan alam. Nilai-nilai ketauhidan, kearifan lokal, dan kepedulian ekologis sudah tertanam dalam budaya kita sejak lama. Yang kita perlukan adalah keberanian untuk kembali pada akar, dan membangun masa depan ekonomi yang tak hanya menguntungkan manusia, tetapi juga merawat bumi.