Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa pada tahun 2023, sekitar 64,25% perempuan bekerja di sektor informal, meningkat dari 61,9% pada tahun 2018 . Sektor ini menawarkan fleksibilitas waktu yang memungkinkan perempuan untuk menyeimbangkan pekerjaan dengan tanggung jawab domestik. Namun, sektor informal sering kali tidak menyediakan perlindungan seperti asuransi atau jaminan pensiun, dan gaji yang didapat cenderung lebih rendah dibandingkan sektor formal.
Survei yang dilakukan oleh MicroSave Consulting dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) pada tahun 2023 mengungkapkan bahwa alasan perempuan memilih sektor informal bervariasi berdasarkan kelompok usia:
- Usia <25 tahun: 46% memilih sektor informal untuk pendapatan dan jam kerja fleksibel, 29% ingin menjadi bos bagi diri sendiri, dan 25% karena kurangnya peluang kerja di sektor formal.
- Usia 26–35 tahun: 66% memilih karena fleksibilitas jam kerja, dan 30% untuk memperoleh pendapatan.
- Usia 36–45 tahun: 62% memilih untuk memperoleh pendapatan, 54% karena fleksibilitas jam kerja, dan 23% karena kurangnya kualifikasi untuk sektor formal.
- Usia 46–60 tahun: 64% mempertimbangkan fleksibilitas kerja, 21% untuk pendapatan, dan 17% karena preferensi pribadi untuk bekerja di industri tertentu
Perempuan di sektor informal menghadapi risiko ketidakpastian finansial, tidak memiliki akses ke jaminan sosial, tunjangan kesehatan, atau perlindungan saat hamil atau melahirkan. Mereka juga lebih rentan terhadap eksploitasi, upah yang rendah, dan jam kerja yang tidak menentu .
Untuk mengatasi tantangan ini, diperlukan kebijakan yang mendukung kesejahteraan perempuan, seperti peningkatan akses pendidikan dan keterampilan, program perlindungan sosial, serta fleksibilitas dalam dunia kerja formal. Menurut Direktur Bank Dunia untuk Indonesia dan Timor-Leste, Satu Kahkonen, pemanfaatan kemampuan perempuan dan peningkatan partisipasi mereka dalam perekonomian dapat menjadi kebijakan ekonomi yang cerdas untuk pemulihan.